Receive all updates via Facebook. Just Click the Like Button Below

Anak Bajo By | Blog Gadgets Via Blogger Widgets

Pages

Sabtu, 20 April 2013

Penyimpangan dalam Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Ta'âla

 Penyimpangan dalam Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Ta'âla

(Oleh: Ustadz Abdullah Taslim, MA)
Pembahasan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Ta'âla memiliki kedudukan yang agung dan tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tonggak utama dan landasan iman kepada Allâh Ta'âla. Dan seorang hamba tidak mungkin dapat menunaikan ibadah yang sempurna kepada Allâh Ta'âla sampai dia benar-benar memahami pembahasan ini dengan baik.[1]
Oleh karena itu, penyimpangan dalam memahami masalah ini, akibatnya sangatlah fatal, karena kerusakan pada landasan iman ini akan mengakibatkan rusaknya semua bangunan agama seorang hamba yang berdiri di atasnya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau:
“Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya, hendaknya menguatkan dan mengokohkan pondasinya, dan bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan kekokohan pondasinya. Maka amal perbuatan dan (tinggi-rendahnya) derajat (dalam Islam) adalah bangunan yang pondasinya adalah keimanan.
Semakin kuat pondasi tersebut, maka akan (mampu) menopang bangunan yang berdiri di atasnya. Kalaupun (terjadi) sedikit kerusakan pada bangunan itu, maka (akan) mudah diperbaiki. Namun jika pondasinya tidak kuat, maka bangunan tidak akan (bisa) berdiri tegak (di atasnya) dan tidak kokoh. Dan jika (terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi tersebut, maka bangunan akan roboh atau (minimal) hampir roboh.
Orang yang mengenal (Allâh Ta'âla dan agama-Nya), perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya). Sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan, tanpa (memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh."[2]

PENGERTIAN AL-ILHÂD (PENYIMPANGAN) DALAM NAMA DAN SIFAT ALLÂH TA'ÂLA
Perbuatan penyimpangan dalam nama dan sifat Allâh Ta'âla dikenal dengan istilah al-ilhâd. Asal makna al-ilhad secara bahasa adalah menyimpang dan berpaling dari sesuatu.[3]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata,
“Asal (makna) al-ilhâd dalam bahasa Arab adalah berpaling dari tujuan, dan (berbuat) menyimpang, aniaya dan menyeleweng. Di antara (contoh penggunaannya) adalah (kata) al-lahd (liang lahad) dalam kuburan. (Dinamakan demikian) karena liang lahad tersebut menyimpang dari pertengahan (lubang) kuburan ke arah kiblat”.[4]
Sedangkan pengertian al-ilhâd (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allâh Ta'âla adalah seperti yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullâh dalam ucapan beliau:
“Hakikat al-ilhâd dalam masalah ini adalah menyelewengkan nama-nama dan sifat-sifat Allâh dari (pemahaman) yang benar, atau memasukkan makna asing yang bukan artinya ke dalam makna nama-nama dan sifat-sifat tersebut, atau memalingkannya dari maknanya yang sebenarnya. Inilah hakikat al-ilhad (dalam masalah ini). Barangsiapa melakukan perbuatan ini, sungguh dia telah berdusta (besar) atas (nama) Allâh”[5]

ANCAMAN KERAS DAN DOSA YANG SANGAT BESAR KARENA MENYIMPANG DALAM MASALAH INI
Allâh Ta'âla berfirman:
Qs al-A’râf/7:180
Hanya milik Allâh-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah),
maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu,
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran)
dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan”
(Qs al-A’râf/7:180)
Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Ta'âla menyampaikan dua ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dalam memahami nama-nama- Nya yang maha indah dan sifat-sifat maha sempurna yang dikandung nama-nama tersebut[6]:
1.
Ancaman yang pertama, tertuang dalam bentuk perintah: “tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya”[7]. Perintah di sini berarti ancaman keras bagi orang-orang yang melakukan perbuatan buruk ini, sebagaimana makna firman-Nya:
Qs al-Hijr/15:3
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang
dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong),
maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)
(Qs al-Hijr/15:3)[8]
2.
Ancaman yang kedua: dalam firman-Nya: “Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan” [9]. Maksudnya, mereka akan mendapat balasan azab dan siksaan yang pedih di dalam neraka karena penyimpangan mereka tersebut[10]. Dalam ayat lain, Allâh Ta'âla berfirman:
Qs al-A’râf/7:33
Katakanlah:”Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa,
melampaui batas tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan perbuatan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan argumentasi (dalil) untuk itu
dan (mengharamkan perbuatan) berkata (atas nama) Allah
dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak dilandasi dengan pengetahuan yang benar)”
(Qs al-A’râf/7:33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“(Dalam ayat ini), Allâh Ta'âla menyebutkan urutan perbuatan-perbuatan yang diharamkan-Nya dalam empat tingkatan, mulai dari yang paling ringan (dibandingkan tiga tingkatan berikutnya), yaitu perbuatan keji (yang nampak maupun tersembunyi), kemudian (tingkatan) ke dua yang lebih besar larangannya dari yang pertama, yaitu perbuatan dosa dan kezhaliman (aniaya), kemudian (tingkatan) ke tiga yang lebih besar larangannya dari dua tingkatan sebelumnya, yaitu menyekutukan Allâh Ta'âla (dengan makhluk), kemudian (tingkatan) ke empat yang lebih besar larangannya dari semua tingkatan sebelumnya, yaitu berkata atas (nama) Allâh tanpa (landasan) ilmu. Dan ini meliputi (semua bentuk) ucapan atas (nama) Allâh Ta'âla tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama, sifatsifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, juga dalam (memahami) agama dan syariat-Nya”[11].

BENTUK-BENTUK ILHÂD (PENYIMPANGAN)
DALAM MEMAHAMI NAMA DAN SIFAT ALLÂH TA'ÂLA

Bentuk ilhâd (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allâh Ta'âla bermacam-macam. Sebagian hukumnya sampai pada tingkat kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai dengan petunjuk dalil-dalil syariat yang ada [12].
Macam-macam bentuk ilhâd tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Mengingkari sebagian dari nama-Nya atau mengingkari sifat-sifat dan hukum-hukum yang dikandung nama-nama tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Ta'âla) dari kelompok jahmiyah dan selain mereka.
Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd, karena kita wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh Ta'âla serta sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran- Nya yang dikandung nama-nama tersebut. Maka mengingkari hal tersebut termasuk penyimpangan dalam masalah ini.
2.
Menjadikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya menyerupai nama-nama dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang menyerupakan Allâh Ta'âla dengan makhluk). Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd karena perbuatan menyerupakan Allâh Ta'âla dengan makhluk adalah kebatilan dan keburukan yang besar.
Allâh Ta'âla berfirman:
Qs asy-Syûrâ/42:11
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,
dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(Qs asy-Syûrâ/42:11)
Qs an-Nahl/16:74
Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah.
Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Qs an-Nahl/16:74)
3. Menetapkan bagi Allâh Ta'âla nama yang tidak ditetapkan-Nya bagi diri-Nya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nashrani yang menamakan Allâh Ta'âla dengan nama bapak. Juga seperti perbuatan kaum filosof (ahli filsafat) yang menamakan Allâh Ta'âla dengan al-‘illatul fâ’ilah (penyebab yang berbuat). Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad, karena penetapan nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil dari al-Qur’ân dan hadits yang shahih, tidak boleh ditambah dan dikurangi). Sebab, Allâhlah yang maha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
4.
Menamai berhala dengan mengambil dari namanama Allâh Ta'âla , seperti perbuatan orang-orang musyrik yang mengambil nama untuk berhala mereka al-‘uzza dari nama Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Mulia dan Perkasa), demikian juga nama al-lata dari nama-Nya “al-Ilah” (Dzat yang berhak diibadahi).
Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad karena nama-nama yang Allâh Ta'âla tetapkan bagi diri-Nya adalah khusus untuk diri-Nya semata-mata, sebagaimana firman-Nya:
Qs al-A’râf/7:180
Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah),
maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu
(Qs al-A’râf/7:180)
Sebagaimana hak untuk diibadahi dan disembah khusus milik Allâh Ta'âla semata, karena hanya Dia-lah semata yang menciptakan, memberi rezki, memberi kemanfaatan, mencegah kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka hanya Dia-lah yang khusus memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak boleh dipalingkan kepada selain- Nya[13].
5.
Menyebut Allâh Ta'âla dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allâh Ta'âla adalah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan:
Qs Ali- ‘Imrân/3:181
Sesungguhnya Allâh miskin dan kami kaya
(Qs Ali- ‘Imrân/3:181)
Juga ucapan kotor mereka:
Qs al-Mâidah/5:64
Tangan Allâh terbelenggu
(Qs al-Mâidah/5:64)[14]

CONTOH-CONTOH PENYIMPANGAN DALAM NAMA DAN SIFAT ALLÂH TA'ÂLA
YANG TERSEBAR DI MASYARAKAT

Banyak contoh perbuatan ini yang terjadi di masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap urusan agama mereka, terutama masalah yang berhubungan dengan keyakinan dasar dan keimanan mereka, meskipun kebanyakan penyimpangan tersebut tidak separah dan tidak sampai pada tingkat kekafiran seperti bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Meskipun demikian, tentu semua ini harus dij auhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan mendangkalkan keyakinan seorang Muslim terhadap Allâh Ta'âla.
Beberapa contoh penyimpangan tersebut, di antaranya:
1.
Keyakinan sebagian orang yang tidak paham agama bahwa masing-masing dari Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk mengobati penyakit tertentu. Perbuatan ini jelas merusak keyakinan, bahkan mengandung pelecehan terhadap nama-nama Allâh yang maha indah, disamping itu juga merupakan perbuatan bid’ah[15] yang sesat serta memalingkan manusia dari dzikir dan ruqyah[16] yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam yang shahih.
2.
Menjadikan nama-nama Allâh sebagai jimat dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian di gantung pada kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain sebagainya. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik”[17]
3.
Menulis nama-nama Allâh Ta'âla pada pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan kagum dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan nama-nama-Nya apalagi untuk meningkatkan keimanan.
Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan, karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat. Juga karena nama-nama Allâh Ta'âla terlalu agung dan mulia untuk dijadikan sebagai hiasan dinding dan rumah.
4.
Menjadikan Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang maha indah) sebagai bahan dzikir seharihari dengan membaca semua nama tersebut. Ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau setelah shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang sampai ratusan kali.
Adapun makna ‘berdoa dengan nama-nama Allâh’ seperti yang diperintahkan oleh Allâh Ta'âla dalam surat al-A’râf ayat 180, juga sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal (dan memahami kandungan)nya maka dia akan masuk surga”[18], adalah menghapal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan mengamalkannya serta berdoa kepada Allâh Ta'âla dengan menyebut nama-Nya yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.
5.
Termasuk kesalahan besar dalam masalah ini adalah memberi nama seseorang dengan nama yang berarti penghambaan kepada selain Allâh Ta'âla, seperi ‘abdun nabi (hambanya Nabi) atau ‘abdul ka’bah (hambanya ka’bah) , ‘abdul Husain (banyak terdapat di kalangan Syiah) dan lain-lainnya.
Perbuatan ini diharamkan dalam Islam berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jamaah, karena manghambakan diri kepada selain Allâh Ta'âla adalah perbuatan syirik.
6.
Juga termasuk kesalahan dalam masalah ini adalah membuang kertas, buku ataupun majalah yang bertulisakan nama-nama Allâh di sembarang tempat ataupun di tempat sampah yang bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.
Perbuatan ini diharamkan dalam Islam, karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan mengagungkan nama-nama-Nya. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah tidak menjawab salam seorang Sahabat ketika beliau sedang berada di WC[19], dalam rangka memuliakan nama Allâh Ta'âla dengan tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis[20].

CARA UNTUK MENYELAMATKAN DIRI DARI PENYIMPANGAN DAN DOSA BESAR INI

Satu-satunya cara untuk selamat dari penyimpangan besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik kepada Allâh Ta'âla agar kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan agama ini. Kemudian dengan berusaha mengikuti metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan agama Islam, yaitu manhaj ulama Salaf, Ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah direkomendasikan kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya yang artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari (kalangan) orang-orang Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya,
dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar
(Qs. at-Taubah/9 :100)
Oleh karena itulah manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah digambarkan oleh para ulama sebagai metode berislam yang a’lam wa ahkam wa aslam[21] (yang paling sesuai dengan ilmu yang bersumber dari al- Qur’ân dan sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, yang paling bijaksana dan sesuai dengan hikmah yang agung, serta paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan tersesat dari kebenaran)
Semoga Allâh Ta'âla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu berpegang teguh dengan metode Ahlus sunnah wal jama’ah dalam berislam agar kita terhindar dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya. Wallâhu a’lam.
 
[1] Al-Qawâ‘idul Mutslâ hlm. 17
[2] Al Fawâ-id hlm. 175
[3] An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 4/450
[4] Tafsir Ibnu Katsîr 2/357
[5] Madârijus Sâlikîn 1/30
[6] Adhwâul Bayân 2/146
[7] Ibid
[8] Tafsir Ibnu Jarîr ath-Thabari 13/285
[9] Adhwâul Bayân 2/146
[10] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 309
[11] I’lâmul Muwaqqi’în 1/38
[12] al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 50
[13] Keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam al-Qawâ-‘idul Mutslâ hlm. 49-50 dengan ringkas dan penyesuaian. Lihat juga keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Badâ-i’ul Fawâ-id hlm.179-180
[14] Lihat Badâi’ul Fawâid hlm.179
[15] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'âla yang tidak dicontohkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam .
[16] Bacaan yang dibacakan kepada orang yang sakit untuk menyembuhkan penyakitnya dengan izin Allâh Ta'âla .
[17] HR. Ahmad (4/156) dan al-Hâkim no. 7513. Lihat Ash-Shahîhah no. 492
[18] HR. al-Bukhâri no. 2585 dan Muslim no. 2677
[19] Hadits hasan shahih riwayat Abu Dâwud no. 16 dan at-Tirmidzi no.90
[20] Keterangan Syaikh ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdul Muhsin al-Badr dalam Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 66-69 dengan ringkas dan penyesuaian
[21] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh dalam Dar-u Ta’ârudhil ‘Aqli wan Naqli 3/95 dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ash-Shawâ’iqul Mursalah 3/1134




Agama Adalah Nasehat

(Oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
قَالُوْا : لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟
قَالأَ : لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ
أَوْ لِلمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu,
dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda:
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”.
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin,
dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan Suhail bin Abi Shalih, dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu. Hadits ini diriwayatkan oleh:
  1. Imam Muslim (no. 55 [95]).
  2. Imam Abu ‘Awanah (I/36-37).
  3. Imam al-Humaidi (no. 837).
  4. Imam Abu Dawud (no. 4944).
  5. Imam an-Nasâ-i (VII/156-157).
  6. Imam Ahmad (IV/102-103).
  7. Imam Ibnu Hibbân. Lihat at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân (no. 4555) dan Ra-udhatul- ‘Uqalâ` (no. 174).
  8. Imam al-Baihaqi (VIII/163).
  9. Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/681 no. 747,749,751,755).
  10. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 1260-1268).
  11. Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIII/93, no. 3514).
Hadits ini memiliki syawâhid (penguat) dari beberapa sahabat, yaitu:
  • Abu Hurairah; diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ-i (VII/157), at-Tirmidzi (no. 1926), Ahmad (II/297), dan Ibnu Nashr al-Marwazi, dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/682 no. 748). At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”
  • Ibnu Umar; diriwayatkan oleh Imam ad-Dârimi (II/311) dan Ibnu Nashr al-Marwazi (no. 757-758).
  • Ibnu ‘Abbas; diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/351) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 11198). 
Para ulama ahli hadits menjelaskan bahwa hadits di atas shahih.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Beliau adalah seorang sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Ruqayyah, Tamîm bin Aus bin Kharijâh bin Su-ud bin Jadzimah al-Lakhmi al-Falasthini ad-Dâri. Dahulu, beliau seorang yang beragama Nasrani dan sebagai rahib dan ahli ibadah penduduk Palestina. Kemudian pindah ke Madinah lalu masuk Islam bersama saudaranya, Nu’aim, pada tahun 9H. Beliau menetap di Madinah sampai akhirnya pindah ke Syam setelah terjadinya pembunuhan Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân radhiyallâhu'anhu.
Beliau adalah seorang yang tekun melakukan shalat Tahajjud, selalu menghatamkan Al-Qur‘ân. Beliau pernah menceritakan tentang kisah Jassasah dan Dajjal kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyampaikan kisah tersebut kepada para sahabat di atas mimbar. Ini menunjukkan keutamaan beliau. Beliau juga ikut berperang bersama RasûlullâhShallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tamim ad-Dâri adalah orang yang pertama kali memasang lampu di dalam masjid dan membacakan kisah-kisah. Ini dilakukan pada zaman pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu'anhu. Beliau meriwayatkan delapan belas hadits dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu hadits diantaranya terdapat dalam Shahîh Muslim. Beliau wafat di Palestina pada tahun 40 H. [1]

PENGERTIAN NASIHAT
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja “nashaha” (نَصَحَ), yang maknanya “khalasha” (خَلَصَ). Yaitu murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna “khâtha” (خَاطَ), yaitu menjahit.[2]
Imam al-Khaththabi rahimahullâh menjelaskan arti kata “nashaha”, sebagaimana dinukil oleh Imam an- Nawawi rahimahullâh :
“Dikatakan bahwa “nashaha” diambil dari “nashahar-rajulu tsaubahu” (نَصَحَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ) apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, dengan usaha seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.”[3]
Imam Ibnu Rajab rahimahullâh menukil ucapan Imam al-Khaththabi rahimahullâh:
“Nasihat, ialah kata yang menjelaskan sejumlah hal. Yaitu menginginkan kebaikan pada orang yang diberi nasihat”.
Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnul-Atsîr rahimahullâh .[4]
Kesimpulannya, nasihat adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan keinginan memberikan kebaikan pada orang yang diberi nasihat.

AGAMA ADALAH NASIHAT
Hadits ini merupakan ucapan singkat dan padat, yang hanya dimiliki Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Ucapan singkat, namun mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Semua hukum syari’at, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) terdapat padanya. Bahkan satu kalimat “wa li Kitâbihi” saja, ia sudah mencakup semuanya. Karena Kitab Allâh mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs al-An’âm/6:38)
Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Kitab ini.
(Qs al-An’âm/6:38)

Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat hadits ini merupakan poros ajaran Islam.
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menamakan agama sebagai nasihat. Padahal beban syari’at sangat banyak dan tidak terbatas hanya pada nasihat. Lalu apakah maksud Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tersebut?
Para ulama telah memberikan jawaban.
Pertama, hal ini bermakna, bahwa hampir semua ajaran agama Islam adalah nasihat, sebagaimana halnya sabda Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
Haji itu adalah wukuf di ‘Arafah.[5]

Kedua
, agama Islam itu seluruhnya adalah nasihat. Karena setiap amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk agama Islam.[6]
Setiap nasihat untuk Allâh Ta'ala menuntut pelaksanaan kewajiban agama secara sempurna. Inilah yang disebut derajat ihsân. Tidaklah sempurna nasihat untuk Allâh tanpa hal ini. Tidaklah mungkin dicapai, bila tanpa disertai kesempurnaan cinta yang wajib dan sunnah, tetapi juga diperlukan kesungguhan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala, yaitu dengan melaksanakan sunnah-sunnah secara sempurna dan meninggalkan hal-hal yang haram dan makruh secara sempurna pula.[7]
Ketiga, nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman, dan ihsân, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jibril.

Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang maksud sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam “agama itu nasihat”. Karena nasihat, adakalanya bermakna pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allâh, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya. Adakalanya merupakan penyempurnaan kekurangan yang terjadi, berupa nasihat untuk pemimpin dan kaum Muslimin pada umumnya, sebagaimana rincian selanjutnya dalam hadits ini.

SYARAH HADITS
1. Nasihat untuk Allâh Ta'ala.

Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullâh (wafat 294H) berkata:
"Nasihat hukumnya ada dua. Yang pertama wajib, dan yang kedua sunnah. Adapun nasihat yang wajib untuk Allâh. Yaitu perhatian yang sangat dari pemberi nasihat untuk mengikuti semua yang Allâh cintai, dengan melaksanakan kewajiban, dan dengan menjauhi semua yang Allâh haramkan. Sedangkan nasihat yang sunnah, adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allâh daripada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri. Yang demikian itu, bila dua hal dihadapkan pada diri seseorang, yang pertama untuk kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabb-nya, maka dia memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabb-nya terlebih dahulu dan menunda semua yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri."
Demikian ini penjelasan nasihat untuk Allâh Ta'ala secara global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya akan kami sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas.
Nasihat yang wajib untuk Allâh, ialah menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dengan seluruh anggota badannya selagi mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukan kewajibannya karena suatu alasan tertentu, seperti sakit, terhalang, atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban tersebut, apabila penghalang tadi telah hilang.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs at-Taubah/9:91)
Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,
atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan,
apabila mereka menasihati kepada Allah dan Rasul-Nya (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya).
Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs at-Taubah/9:91)

Allâh Ta'ala menamakan mereka sebagai “al-muhsinîn” (orang-orang yang berbuat kebaikan), karena perbuatan mereka berupa nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hati mereka yang ikhlas ketika mereka terhalang untuk berjihad dengan jiwa raganya.

Dalam kondisi tertentu, terkadang seorang hamba dibolehkan meninggalkan sejumlah amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasihat untuk Allâh Ta'ala, meskipun disebabkan sakit yang tidak mungkin baginya untuk melakukan sesuatu dengan anggota tubuhnya, bahkan dengan lisan, dan lain-lain, namun akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban memberikan nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hatinya. Yaitu dengan penyesalan atas dosa-dosanya dan berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allâh Ta'ala kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang di larang Allâh Ta'ala.
Jika tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa cinta, takut, dan harap kepada Allâh Ta'ala dan niat untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-Nya), maka ia tidak disebut sebagai pemberi nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hatinya.
Juga termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah taat kepada Rasul-Nya dalam hal yang beliau wajibkan kepada manusia berdasarkan perintah Rabb-nya. Dan termasuk nasihat yang wajib untuk Allâh Ta'ala, ialah dengan membenci dan tidak ridha terhadap kemaksiatan orang yang berbuat maksiat, dan cinta kepada ketaatan orang yang taat kepada Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan nasihat yang sunnah (bukan yang wajib), ialah dengan berjuang sekuat tenaga untuk lebih mengutamakan Allâh Ta'ala daripada segala apa yang ia cintai dalam hati dan seluruh anggota badan bahkan dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dari orang lain. Karena seorang penasihat, apabila bersungguh-sungguh kepada orang yang dicintainya, dia tidak akan mementingkan dirinya, bahkan berupaya keras melakukan hal-hal yang membuat orang yang dicintainya itu merasa senang dan cinta, maka begitu pula pemberi nasihat untuk Allâh Ta'ala.
Barangsiapa yang melakukan ibadah nafilah (sunnah) untuk Allâh Ta'ala tanpa dibarengi dengan kerja keras, maka dia adalah penasihat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi tidak melaksanakan nasihat dengan sebenarnya secara sempurna.[8]
Imam an-Nawawi rahimahullâh menyebutkan, termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh Ta'ala. Adapun makna nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah beriman kepada Allâh Ta'ala, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat- Nya, mensifatkan Allâh Ta'ala dengan seluruh sifat yang sempurna dan mulia, mensucikan Allâh Ta'ala dari semua sifat-sifat yang kurang, melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan maksiat, mencintai karena Allâh Ta'ala, benci karena-Nya, loyal (mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka kepada-Nya, berjihad melawan orang yang kufur kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya …[9]
Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan, termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh Ta'ala.[10]
Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh (wafat 1163 H) berkata,
”Maksud nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, penyerupaan, serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allâh Ta'ala mempunyai segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan- Nya. Seorang muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan, melakukan amalan zhahir dan batin yang Allâh Ta'ala cintai dan menjauhi apa-apa yang Allâh Ta'ala benci, mencintai apa-apa yang Allâh Ta'ala cintai dan membenci apa-apa yang Allâh Ta'ala benci, meyakini apa-apa yang Allâh Ta'ala jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang bathil itu sebagai suatu kebathilan, hatinya dipenuhi dengan rasa cinta dan rindu kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan taqdir-Nya.”[11]

2. Nasihat untuk Kitâbullâh.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata,
”Sedangkan nasihat untuk Kitabullah, ialah dengan sangat mencintai dan mengagungkan kedudukannya karena Al-Qur’an itu adalah Kalâmullâh, berkeinginan kuat untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar dalam merenunginya, serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk mendapatkan pemahaman maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allâh untuk dipahami, dan setelah memahaminya ia mengamalkan isinya. Begitu pula halnya seorang yang menasihati dari kalangan hamba, dia akan mempelajari wasiat dari orang yang menasihatinya. Apabila ia diberi sebuah buku dengan maksud untuk dipahaminya, maka ia mengamalkan apa-apa yang tertulis dari wasiat tersebut. Begitu pula pemberi nasihat untuk Kitâbullâh, dia dituntut untuk memahaminya agar dapat mengamalkannya karena Allâh; sesuai dengan apa yang Allâh cintai dan ridhai, kemudian menyebarluaskan yang dia pahami kepada manusia, dan mempelajari Al-Qur-an terus-menerus didasari rasa cinta kepadanya, berakhlak dengan akhlaknya, serta beradab dengan adab-adabnya.”[12]
Hal ini diwujudkan dalam bentuk iman kepada Kitab-kitab samawi yang diturunkan Allâh Ta'ala dan meyakini Al-Qur‘ân merupakan penutup dari semua Kitab-kitab tersebut. Al-Qur‘an adalah Kalâmullâh yang penuh dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara, baik dalam hati maupun dalam lisan. Allâh Ta'ala sendirilah yang menjamin hal itu.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs al-Hijr/15:9)
Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur‘ân) 
dan Kami sendiri yang menjaganya.

(Qs al-Hijr/15:9)[13]
Menurut Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh, nasihat untuk kitab-Nya adalah dengan meyakini Al-Qur‘ân itu Kalâmullâh. Wajib mengimani apa-apa yang ada di dalamnya, wajib mengamalkan, memuliakan, membacanya dengan sebenar-benarnya, mengutamakannya daripada selainnya, dan penuh perhatian untuk mendapatkan ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah Allâh yang tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allâh, dan merupakan wasilah (jalan) bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan Allâh. Dia sebagai penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu. Barangsiapa yang ingin sampai di tempat tujuan, maka ia harus menempuh jalannya. Karena kalau tidak, ia pasti tersesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan Kitâbullâh, niscaya ia tidak akan meninggalkannya sedikitpun.[14]
Secara rinci, nasihat untuk Kitâbullâh dilakukan melalui beberapa hal berikut.
a.
Membaca dan menghafal Al-Al-Qur‘ân.
Dengan membaca al-Al-Qur‘ân akan didapatkan berbagai ilmu dan pengetahuan. Disamping itu akan melahirkan kebersihan jiwa, kejernihan perasaan, dan mempertebal ketakwaan. Membaca Al-Qur‘ân merupakan kebaikan dan merupakan syafa’at yang akan diberikan pada hari Kiamat kelak.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Bacalah Al-Qur‘ân, karena pada hari Kiamat ia akan datang
untuk memberi syafa’at kepada orang yang membacanya.[15]

Sedangkan menghafal Al-Qur‘ân merupakan keutamaan yang besar. Melalui hafalan, hati akan lebih hidup dengan cahaya Kitâbullâh, manusia juga akan segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu, derajatnya di akhirat akan semakin tinggi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Dikatakan kepada orang yang shahib (orang yang mengilmui
dan mengamalkannya) Al-Qur‘ân,
”Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil
sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil.
Karena kedudukanmu (di surga)
sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca”. [16]

Membacanya dengan tartil dan suara yang bagus, sehingga bacaannya dapat masuk dan diresapi.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Bukan golongan kami
orang yang tidak membaca Al-Qur‘ân dengan irama.[17]

b.
Mentadabburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayatnya.
Allâh Ta’ala berfirman:
(Qs Muhammad/47:24)
Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur‘ân
ataukah hati mereka terkunci? 
(Qs Muhammad/ 47:24)

c.
Mengajarkannya kepada generasi muslim agar ikut berperan dalam menjaga Al-Qur‘ân.
Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur‘an adalah kunci kebahagiaan dan ‘izzah (kejayaan) umat Islam.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari
dan mengajarkan Al-Qur‘ân.[18]

d.
Memahami dan mengamalkannya.
Seorang muslim wajib membaca Al-Qur‘ân dan harus berusaha memahaminya serta berusaha untuk mengamalkannya. Bagaimanapun, buah membaca Al-Qur‘ân baru akan kita peroleh setelah memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, alangkah buruknya jika kita memahami ayat Al-Qur‘ân namun tidak mau mengamalkannya.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs ash-Shaff/61:2-3)
Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan. 
(Qs ash-Shaff/61:2-3)
[19]

3. Nasihat untuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata:
"Sedangkan nasihat untuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pada masa hidupnya, ialah dengan mengerahkan segala kemampuan secara sungguh-sungguh dalam rangka taat, membela, menolong, memberikan harta (untuk perjuangan menegakkan agama Allâh) bila beliau menginginkannya, dan bersegera untuk mencintai beliau. Adapun setelah Beliau wafat, maka dengan perhatian dan kesungguhan untuk mencari Sunnah-nya, akhlak, dan adab-adabnya, mengagungkan perintahnya, istiqâmah dalam melaksanakannya, sangat marah dan berpaling dari orang yang menjalankan agama yang bertentangan dengan Sunnah-nya, marah terhadap orang yang menyia-nyiakan Sunnah beliau hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia, meskipun ia meyakini akan kebenarannya, mencintai orang yang memiliki hubungan dengan Beliau, dari kalangan karib kerabat atau familinya, juga dari kaum Muhajirin dan Anshar, atau dari seorang sahabat yang menemani Beliau sesaat di malam atau siang hari, dan dengan mengikuti tuntunan beliau dalam hal berpenampilan dan berpakaian."[20]
Yang dimaksud dengan nasihat untuk Rasul-Nya, ialah dengan meyakini Beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Allâh mengutusnya kepada para hamba-Nya, agar Beliau mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka semua yang membuat mereka bahagia dan semua yang membuat mereka sengsara, menerangkan kepada mereka jalan Allâh yang lurus agar mereka lulus mendapatkan kenikmatan surga dan terhindar dari kepedihan api neraka, dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta tidak ada kesempitan di dadanya terhadap semua yang Beliau putuskan. Tunduk serta patuh kepada Beliau, seperti orang yang buta mengikuti petunjuk jalan orang yang tajam matanya.
Orang yang menang, adalah orang yang menang membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya. Dan orang yang rugi, adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada Beliau, maka ia taat kepada Allâh. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Allah dan kelak akan diberi balasan setimpal.[21]
Hal ini diaplikasikan dalam bentuk membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikan, baik dalam Al-Qur‘an maupun as-Sunnah, serta mencintai dan mentaatinya. Mencintai Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ialah dengan ittibâ’ (mengikuti) beliau dan taat kepadanya.
Allâh Ta’ala berfirman:
(Qs Ali ‘Imran/3:31)
Katakanlah (hai Muhammad):
“Jika kalian mencintai Allâh, maka ikutilah aku (Muhammad),
niscaya kalian dicintai Allâh”.
(Qs Ali ‘Imran/3:31)
Ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam merupakan bentuk ketaatan kepada Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman:
(Qs an- Nisâ‘/4:80)
Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka ia telah mentaati Allâh. 
(Qs an- Nisâ‘/4:80)

4. Nasihat untuk Para Pemimpin Kaum Muslimin.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata,
”Sedangkan nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin, ialah dengan mencintai ketaatan mereka kepada Allâh, mencintai kelurusan dan keadilan mereka, mencintai bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, benci kepada perpecahan umat dengan sebab melawan mereka, mengimani bahwa taat kepada mereka ialah demi ketaatan kepada Allâh, membenci orang yang keluar dari ketaatan kepada mereka (yaitu membenci orang yang tidak mengakui kekuasaan mereka dan menganggap darah mereka halal), dan mencintai kejayaan mereka dalam taat kepada Allâh.”[22]
Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh berkata,
”Makna ‘nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin’, ialah nasihat yang ditujukan kepada para penguasa mereka. Yaitu dengan menerima perintah mereka, mendengar, dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq. Tidak memerangi mereka selama mereka belum kafir, berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka, membersihkan kerusakan mereka, memerintahkan mereka kepada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran, serta mendo’akan mereka agar mendapatkan kebaikan. Karena, dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat, dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat.”[23]
Yang dimaksud dengan pemimpin kaum Muslimin, ialah para penguasa, wakil-wakilnya, atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS. An-Nisaa’: 59)
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allâh,
taatlah kepada Rasul dan penguasa dari kalian.
(QS. An-Nisaa’: 59)
Nasihat untuk pemimpin, ialah dengan mencintai kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Karena, melalui kepemimpinannyalah kemaslahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang dengan persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka yang adil dan membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Nasihat untuk para pemimpin dapat juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada di atas jalan kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka dengan cara yang baik. Termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, ialah tidak melakukan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa, meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi, baik dari atas mimbar, tempat khusus maupun umum, atau media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Salafush-Shalih.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa,
janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan.
Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya.
Bila penguasa itu mau mendengar nasihat tersebut maka itu yang terbaik.
Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima)
maka sungguh ia telah melaksanakan
kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[24]
Sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi masyarakat yang tidak mau menasihati penguasanya dengan cara yang baik. Juga tidak ada kebaikan, bagi penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang yang berusaha menasihatinya, bahkan menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, yang terjadi justru kerendahan dan kehancuran. Ini sangat mungkin terjadi jika masyarakat muslim telah menyeleweng dan jauh dari nilai-nilai Islam.
Adapun para ulama, nasihat yang dilakukan untuk Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh, dilakukan dengan jalan membantah berbagai pendapat sesat berkenaan dengan Al-Qur‘an dan as-Sunnah. Menjelaskan berbagai hadits, apakah hadits tersebut
shahih atau dha’if.
Para ulama juga mempunyai tanggung-jawab yang besar untuk selalu menasihati para penguasa, dan senantiasa menyerukan agar para penguasa berhukum dengan hukum Allâh dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam mengemban tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun yang menyerukan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allâh akan menghisabnya.
Kepada para ulama, hendaklah mereka terus-menerus berusaha datang menyampaikan kebenaran dan nasihat yang baik kepada pemerintah (penguasa) dan sabar dalam melakukannya, karena menyampaikan kalimat yang baik termasuk seutama-utama jihad.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan (dalam riwayat lain: kebenaran)
di hadapan penguasa yang semena-mena.[25]

Para ulama juga akan dimintai pertanggung-jawaban, jika mereka justru memuji penguasa yang semena-mena, bahkan kemudian menjadi corong mereka. Sedangkan nasihat kita untuk para ulama, ialah dengan senantiasa mengingatkan mereka akan tanggung jawab tersebut, mempercayai hadits-hadits yang mereka sampaikan, jika memang mereka orang yang bisa dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena hal tersebut dapat mengurangi kewibawaan dan membuat mereka sebagai bahan tuduhan.

5. Nasihat untuk Kaum Muslimin.
Makna “nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya”, ialah dengan menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allâh. Maka seorang hamba harus memandang mereka dengan landasan yang satu, yaitu kacamata kebenaran.[26]
Nasihat untuk masyarakat muslim, dilakukan dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Sangat disayangkan, kaum Muslimin telah mengabaikan tugas ini. Mereka tidak mau menasihati muslim yang lain, khususnya berkaitan dengan urusan akhirat.
Nasihat yang dilakukan seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian, nasihat tersebut akan terlihat nyata dalam masyarakat muslim, sebagai penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pemberi manfaat, amar ma’ruf nahyu mungkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang lebih kecil, serta menghindari penipuan dan kedengkian.[27]

6. Nasihat yang Paling Baik Di antara Kaum Muslimin.
Nasihat yang paling baik, ialah nasihat yang diberikan ketika seseorang dimintai nasihat.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Jika seseorang meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia.[28]
Termasuk nasihat yang paling baik, yaitu nasihat yang dilakukan seseorang kepada orang lain ketika orang tersebut (yang dinasihati) tidak ada di hadapannya. Yaitu dilakukan dengan cara menolong dan membelanya.

7. Kedudukan Orang yang Memberikan Nasihat.
Amal para rasul ialah menasihati manusia kepada sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.
Allâh Ta'ala berfirman menceritakan hamba-Nya, Nabi Hud 'alaihissalam :
(Qs al-A’râf/7: 68)
Aku menyampaikan amanat-amanat Rabb-ku kepadamu
dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.
(Qs al-A’râf/7: 68)

Allâh Ta'ala juga menceritakan Nabi Shalih 'alaihissalam yang berbicara kepada kaumnya:
(Qs Al-A'raf/7:79)
Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata:
“Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabb-ku,
dan aku telah memberi nasihat kepadamu,
tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat”.
(Qs Al-A’râf/7:79)

Seseorang seharusnya merasa cukup mulia dengan melaksanakan amalan hamba-hamba Allâh yang paling mulia, yaitu para nabi dan rasul. Demikianlah hakikat nasihat. Mudah-mudahan Allâh Ta'ala menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu saling menasihati. Sehingga memiliki sebagian sifat-sifat orang yang beruntung, sebagaimana telah digariskan Allâh Ta'ala dengan firman-Nya:
(Qs al-'Ashr/103:1-3)
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
(Qs al-‘Ashr/103:1-3)


HUKUM MEMBERIKAN NASIHAT
Diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallâhu'anhu, ia berkata:
hadist
Aku membai’at Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
(dengan isi kandungan bai'at, aku akan) tetap mengerjakan shalat,
menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim.[29]

Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
”Hukum memberi nasihat ialah fardhu kifayah. Artinya, apabila ada seseorang yang sudah mengerjakannya maka gugurlah kewajiban atas yang lain. Dan nasihat ini adalah wajib menurut kadar kemampuan.”

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthân berkata,
”Saya berpendapat, hukum memberi nasihat dengan maknanya yang menyeluruh sebagaimana sudah dijelaskan, ada yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib, dan ada juga yang sunnah. Karena Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan, agama adalah nasihat. Sedangkan hukum-hukum agama ada yang wajib, sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.”[30]

ADAB-ADAB MEMBERI NASIHAT
Di antara adab memberi nasihat dalam Islam, yaitu menasihati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena, barangsiapa menutupi keburukan saudaranya maka Allâh Ta'ala akan menutupi keburukannya di dunia dan akhirat. Sebagian ulama berkata, barangsiapa menasihati seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka itulah nasihat yang sebenarnya.
Barangsiapa menasihati saudaranya di depan banyak orang maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasihati. Fudhail bin Iyadh rahimahullâh berkata,
"Seorang mukmin, ialah orang yang menutupi aib dan menasihati. Sedangkan orang fasik, ialah orang yang merusak dan mencela."[31]
Al-Imam Ibnu Hibbân rahimahullâh (wafat 354 H) berkata,
"Sebagaimana telah kami sebutkan, memberi nasihat merupakan kewajiban seluruh manusia, tetapi dalam cara menyampaikannya -tidak boleh tidak- harus secara rahasia. Karena, barangsiapa menasihati saudaranya di hadapan orang lain, berarti ia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia, berarti ia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima daripada menyampaikan dengan maksud mencelanya."
Kemudian al-Imam Ibnu Hibban rahimahullâh menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Mis’ar, ‘Apakah engkau suka bila ada orang lain memberitahukan kekurangan-kekuranganmu?’
Ia menjawab, ’Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka aku tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku seorang pemberi nasihat, maka aku senang’.”

Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullâh mengatakan,
”Nasihat, apabila dilakukan seperti apa yang telah kami sebutkan maka akan melanggengkan kasih sayang dan menjadi penyebab terwujudnya hak ukhuwah (persaudaraan).”[32]
Al-Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm rahimahullâh (wafat 456 H) berkata,
”Maka wajib bagi seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu suka maupun benci, tersinggung maupun tidak tersinggung. Apabila engkau memberikan nasihat maka sampaikan secara rahasia, jangan di hadapan orang lain dan cukup dengan memberikan isyarat, tanpa secara terus-terang. Kecuali, orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus-terang. Janganlah memberi nasihat dengan syarat harus diterima. Jika engkau melampaui batas adab-adab tersebut maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.”[33]
Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata dalam sya’irnya:
Syair
Tutupilah kesalahanku dengan nasihatmu ketika aku seorang diri. 
Hindarilah menasihatiku di tengah khalayak ramai. 
Karena memberikan nasihat di hadapan banyak orang. 
Sama saja dengan memburuk-burukkan, aku tidak sudi mendengarnya. 
Jika engkau menyalahiku dan tidak mengikuti ucapanku. 
Maka janganlah engkau kaget bila nasihatmu tidak ditaati.
 [34]

FAWAID HADITS
  1. Nasihat memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama Islam.
  2. Nasihat ditujukan kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul- Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan kepada kaum Muslimin pada umumnya.
  3. Wajib ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
  4. Wajib ikhlas dalam memberikan nasihat.
  5. Tidak boleh khianat dalam memberikan nasihat.
  6. Bolehnya mengakhirkan keterangan dari waktu ketika menyampaikan nasihat.
  7. Nasihat dikatakan sebagai agama, karena iman terdiri dari perkataan dan perbuatan.
  8. Nasihat termasuk dari iman. Karena itulah Imam al-Bukhari berkata dalam Shahîh-nya, dalam Kitâbul- Imân.
  9. Baiknya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam mengajarkan agama kepada para sahabatnya.
  10. Para sahabat radhiyallâhu'anhum sangat berkeinginan keras untuk mendapatkan ilmu.
  11. Dakwah itu harus dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting.

Marâji’:
  1. Al-Wâfî fî Syarhil-Arba’în an-Nawawiyyah, Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  2. An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts, Ibnul-Atsîr.
  3. Fiqih Nasihat, Fariq bin Ghasim Anuz.
  4. Fat-hul Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani.
  5. Irwâ-ul Ghalîl fii Takhriiji Ahâdîts Manâris-Sabîl, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  6. Jâmi’ul ‘Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
  7. Qawâ’id wa Fawâ-id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya: Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan.
  8. Shahîh Muslim, dan lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam takhrij hadits.
  9. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  10. Syarah Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
  11. Syarah Shahîh Muslim, karya: al-Imam an-Nawawi
  12. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, al-‘Allamah Muhammad Hayat as-Sindi. Tahqiq: Hikmat bin Ahmad al-Hariri, Daar Ramaadi, Cetakan I, Tahun 1415 H.
  13. Syarhul- Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
  14. Syarhus-Sunnah, al-Imam al-Baghawi.
  15. Ta’zhîm Qadrish-Shalâh, Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Tahqiq dan Takhrij: Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdul-Jabbar al-Fariyuwa’i, Maktabah ad-Dâr Madinah an-Nabawiyyah, Cetakan I.
  16. Dan kitab-kitab lainnya yang disebutkan dalam catatan kaki.

[1]Siyar ‘Alâmin Nubalâ (II/442-448), al-Ishâbah fî Tamyîzish-Shâhâbah (I/183-184), dan Tahdzîbut- Tahdzîb (I/449, no. 951).
[2]Lisânul-Arab (XIV/158-159) bagian kata “Nashaha”. Daar Ihyâ-ut Turats al-‘Arabi, Cetakan I, Tahun 1408H.
[3]Syarah Shahîh Muslim (II/37).
[4]Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/219). Lihat juga an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadits (V/63).
[5]HR Abu Dawud (no. 1949), an-Nasâ-i (V/256), at-Tirmidzi (no. 2975). Lihat Fat-hul Bâri (I/138).
[6]Fat-hul Bâri (I/138).
[7]Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/218).
[8]Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh, (II/691-692).
[9]Syarah Shahîh Muslim (II/38) oleh Imam an-Nawawi.
[10]Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/222).
[11]Syarhul-Arba’în an-Nawawiyah, hlm. 47-48.
[12]Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693).
[13]Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42.
[14]Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[15]HR Muslim (no. 804), dari Sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallâhu'anhu.
[16]HR Abu Dawud (no. 1464) dan at-Tirmidzi (no. 2914), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amrradhiyallâhu'anhu.
[17]HR al-Bukhari (no. 7527), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[18]HR al-Bukhari (no. 5027), dari Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallâhu'anhu.
[19]Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42-43.
[20]Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh (II/693).
[21]Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[22]Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693-694).
[23]Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[24]HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa Nashihatur-Ra’iyyah lil-Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm rahimahullâh.
[25]HR Abu Dawud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan Ibnu Majah (no. 4011), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri. Lihat Silsilah al- Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 491.
[26]Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
[27]Al-Wâfî fî Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hlm. 45.
[28]
HR Muslim (no. 2162), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[29]HR al-Bukhari (no. 57) dan Muslim (no. 56 [97]).
[30]Qawâ’id wa Fawâ-id minal-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 95.
[31]Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 46.
[32]Raudhatul-‘Uqalâ’ wa Nuzhatul-Fudhalâ`, hlm. 176-177.
[33]Akhlâq was Siyar fî Mudâwâtin Nufûs (hal. 45).
[34]Diwân Imam asy-Syafi’i, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad ‘Abdur-Rahim, Darul-Fikr, hlm. 275.

(Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar